top of page

02: Off The Beaten Track


"Kenapa sih lo memilih untuk jalan-jalan ke tempat yang susah dan yang berbahaya?"

Saya sering sekali mendapatkan pertanyaan tersebut, tidak hanya dari orang terdekat saya tetapi juga dari teman-teman yang saya temui di beberapa kesempatan. Saya memang tidak pergi ke banyak negara seperti kebanyakan traveler atau backpacker lainnya karena saya fakir cuti. Jadi, buat yang bertanya, "Cuti lo ada berapa?" maka jawaban saya sederhana, "Cuti gue sama kayak lo semua, nggak lebih dari lima belas hari." Cuti yang sedikit ini pun saya harus pergunakan dengan maksimal untuk pergi ke tempat-tempat yang off the beaten track.


Risiko

Saya percaya dan yakin bahwa semakin kita berumur maka semakin sulit untuk mengambil risiko, apalagi yang berhubungan dengan keselamatan diri serta kesehatan. Dengan kata lain, kemauan untuk melakukan aktivitas yang berbahaya itu grafiknya berbanding lurus dengan usia seseorang, kita menjadi sedemikian takut mengambil risiko di dalam hidup. Melakukan suatu aktivitas yang berbahaya, bungee jumping misalnya akan lebih dipikirkan masak-masak ketika seseorang tak lagi muda (di bawah 25 tahun) ditambah lagi kalau punya tanggungan, seperti anak atau istri. Aktivitas itu mungkin dilakukan tetapi dengan penuh pertimbangan dan perlu keberanian ekstra untuk mengambil keputusan dan menelan bulat-bulat risiko yang dihadapi.


Keyakinan saya di atas ini yang lalu membawa saya pada suatu pemahaman bahwa ketika usia masih terbilang cukup muda, maka ini adalah waktunya untuk mengambil risiko (sebanyak-banyaknya) dan berpergian ke tempat-tempat yang mungkin tidak akan pernah terpikirkan ketika usia saya sudah 40 atau 50 tahun. Saya paham bahwa waktu serta usia tidak akan pernah bisa diulang dan ketika saya masih memiliki keberanian serta energi untuk melakukan itu semua, kenapa tidak?


Antimainstream?

Saya berusaha sedemikian rupa untuk membuktikan kepada orang lain bahwa saya adalah orang yang antimainstream, dengan cara pergi ke tempat-tempat yang ajubugile susahnya setengah mati dan budget-nya bisa dipergunakan untuk santai-santai di Bali sambil minum cocktail. Saya justru berusaha untuk menantang diri saya sendiri bahwa saya sanggup dan mau melakukannya.


Saya masih ingat betul ketika saya sendirian mendaki puncak berbatu-batu dengan hanya menggunakan boatshoes yang sumpah setengah mati susahnya di Atashkadeh Esfahan, Iran. Saya benar-benar seorang diri, membawa kamera di siang hari bolong dan misuh-misuh. Namun, saat sampai di atas bukit bebatuan itu, saya justru merasa bangga akan diri saya sendiri bahwa saya sudah berhasil mengalahkan diri saya sendiri, rasa kemalasan untuk mendaki puncak berbatu tersebut tanpa pengalaman mendaki sama sekali di dalam curriculum vitae traveling saya.


Saya berhasil mengalahkan diri saya sendiri ketika traveling. Ini penting.


Berteman dengan kesendirian

Jalan-jalan sendiri bagi sebagian orang tampak aneh, asing rasanya ketika mendengar kalau berjalan-jalan sendirian ke sebuah tempat yang susah pula untuk dijelajahi. Sebagian besar tempat yang saya jelajahi, baik di Indonesia ataupun di luar Indonesia, saya jelajahi seorang diri. Saya berusaha mengajak beberapa teman saya namun mereka menolak untuk pergi dengan beragam alasan, dan salah satunya mungkin karena perbedaan preferensi dan definisi "jalan-jalan".


Saat saya berjalan-jalan ke tempat yang susah, berteman dengan sepi adalah hal yang tak bisa dinafikan. Kesendirian adalah teman karib saya begitu saya duduk di atas pesawat dan bersiap menghadapi turbulensi. Kesendirian yang justru sangat karib karena saya pun berpikir bahwa pada akhirnya, saya pun bisa memahami bahwa kesendirian itu justru menyejukkan.


Saya menikmati waktu-waktu sendiri saya, bertanya tentang konsep ketuhanan serta melakukan pemrograman ulang tentang hidup ketika saya melihat orang lalu-lalang di bandara-bandara internasional, menyusuri gang-gang di Milan, terduduk penuh kelelahan di sebuah masjid di Yazd, Iran atau hampir kehabisan napas karena berlari-lari mengejar bus di Pyongyang.


Pergi ke tempat-tempat yang sedemikian susah untuk dijelajahi justru membuat saya paham bahwa jalan-jalan lebih dari sekadar urusan upload foto di media sosial atau ticking your bucket-list. Pengalaman ini jauh lebih kaya dibandingkan itu semua karena saya mungkin akan menjadi orang yang berbeda lima atau sepuluh tahun lagi, saat santai-santai di sebuah resor di Maldives terasa jauh lebih bahagia dan menyenangkan ketimbang harus deg-deg-an di Erbil, Iraq karena takut ditangkap oleh ISIS.


Selamat berjalan-jalan dan selamat menemukan diri dan makna kehidupan dengan berjalan-jalan!

Related Posts

See All
bottom of page