top of page

2021: Living an "If Only"

  • Writer: Lewi Aga Basoeki
    Lewi Aga Basoeki
  • Jan 9, 2021
  • 2 min read

Postingan ini ditulis di tahun 2020 namun baru diterbitkan di tahun 2021


"Gini deh, Ga. Misalnya lo pacaran sama seseorang tapi kemudian orang tersebut yang 'ngejahatin lo, tetapi lo tetap baik terus sama dia. Lo mungkin paling cuma bisa menelan aja semua kekesalan lo. Habis itu apa? Lo pasti lebih mudah let go karena memang lo yang dijahatin. Sebaliknya, pasangan yang 'ngejahatin lo itu akan jauh lebih besar merasakan penyesalan karena dia telah 'nyakitin lo saat lo pacaran sama dia. Familiar dengan penyesalan semacam itu?"


Saya lalu menegak negroni saya, sebuah cocktail dengan bahan dasar campari, sweet vermouth dan gin. Saya memutar gelas cocktail yang terlihat sangat fancy tersebut, mencoba mencerna apa yang sahabat saya ucapkan sembari mencoba mencicipi rasa cocktail favorit saya. Saya mengecap lidah saya sendiri, namun rasa bitter cocktail itu perlahan hilang dan berganti menjadi rasa manis karena sweet vermouth. Saya mengembalikan pikiran dan tatapan saya kepada sahabat yang duduk di depan saya ini dan mulai berpikir, mungkin perasaan yang sama yang saya rasakan ketika kita melepaskan orang yang toxic di dalam hidup kita. Hambar dan bitter di awal namun akhirnya pasti ada suatu kelegaan dan tidak ada rasa penyesalan. Smooth and clean.


Di Sisi Lain

Namun, tidak selamanya kita menerima gelar "si yang terzolimi" atau "si yang tersakiti" di dalam hidup ini bukan? Pada suatu masa justru kita yang jahat terhadap orang lain, baik disengaja atau tidak disengaja, di dalam suatu hubungan. Kita menjadi pasangan atau sahabat yang kurang bersyukur, cenderung menyakiti atau membuat hubungan percintaan atau persahabatan yang toxic. We do like to take someone for granted.


Kita berlaku semena-mena terhadap orang lain dan ketika pada akhirnya hubungan yang toxic tersebut berakhir, seringkali rasa penyesalan bahwa kita telah menyia-nyiakan orang lain seringkali muncul di dalam kesendirian atau karma tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan, menghantam keras hidup dan perasaan kita yang lagi galau-galaunya karena ditinggalkan atau merasa perasaan bersalah.


Frame-frame peristiwa mendadak muncul di dalam pikiran, mencoba untuk mengingatkan kembali bahwa sebenarnya kita adalah tokoh antagonis di dalam hidup orang lain dan menghancurkan ego kita sendiri.


Pernah di dalam posisi tersebut? Saya sih pernah.


If Only

"Coba kalo gue 'nggak kayak gitu dulu," adalah kalimat yang saya sering dengar ketika kita berandai-andai kalau kita menjadi orang yang punya sikap lebih baik terhadap orang lain. Kita justru mengalami penyesalan justru tidak di dalam sekejap waktu kita menyakiti hati seseorang, melainkan ketika kita menghadapi suatu peristiwa yang sama dengan kita yang menjadi "si yang tersakiti" atau ternyata jalan hidup kita ternyata tidak semulus yang dibayangkan.


Pernah 'nggak sih merasa menyesal ketika memutuskan hubungan secara sepihak dan menganggap bahwa mantan kita tidak memenuhi ekspektasi namun kemudian kita berpacaran dengan orang yang tidak jauh lebih baik dibandingkan mantan atau malah jauh lebih buruk? Andai saja kita tahu dengan siapa kita akan berpapasan di kemudian hari, kita pasti akan berhati-hati bukan di dalam mengambil keputusan?

Sayangnya, hidup tidak demikian.


Andai saja kita memperlakukan orang-orang yang pernah menjadi bagian di dalam masa lalu kita dengan baik, pasti hidup kita mungkin tidak senelangsa sekarang. Ya gak sih?


Lewi Aga Basoeki

bottom of page